Pengertian dari hukum Syar’i menurut istilah syar’a adalah suau ketentuan dari yang menentukan syari’at yang bertalian dengan perbuatan orang yang mukallaf didalamnya mengandung tuntutan, kebolehan dan larangan serta mengandung ketentuan sebab, syarat, dan mani’, atau halangan terlaksananya hukum. Busana muslimah sendiri definisinya adalah segala pakaian yang menutupi tubuh dengan tidak menampakkan aurat sesuai dengan syari’at yang berlaku. Sebagai landasannya adalah surat Al Ahzab ayat 59: “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. [Al Ahzab : 59].
Selain itu Allah juga berfirman dalam surat An Nur ayat 31: “Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki,
atau pelayan-peelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau nak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31). Dalam memaknai kalimat “kecuali yang biasa tampak darinya”,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ayat ini,
sebagaimana disebutkan Ibnu Kasīr dalam kitab tafsirnya menegaskan
tentang kewajiban menutup seluruh perhiasan dan tidak menampakkannya
sedikitpun kepada laki-laki ajnabi, kecuali perhiasan yang
tampak tanpa kesengajaan, karena sesuatu yang tidak disengaja tidaklah
mendapat hukuman. Ibnu Abbās ra mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
‘perhiasan yang biasa tampak’ adalah wajah dan kedua telapak tangan, dan inilah pendapat yang masyhur di kalangan jumhur ulama’.
Demikian pula pendapat Ibnu Jarīr. Sedangkan Ibnu Mas’ūd ra berpendapat
sebagaimana dikutip al-Albāniy bahwa yang dimaksud dengan ‘perhiasan
yang biasa tampak’ adalah selendang maupun kain yang lainnya, yakni kain
kerudung yang biasa dikenakan wanita Arab di atas pakaiannya serta
bagian bawah pakaiannya yang tampak.
Ulama besar Muhammad Nashirudin
Al-Albany dalam hal ini menyebutkan bahwa busana muslimah (hijab) yang
memenuhi syari’at dalam islam adalah sebagai berikut:
1. Menutup seluruh anggota badan selain yang dikecualikan.
Dalam al-Qur’an surat An-Nur ayat 31 tersebut diatas disebutkan kata “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
Menurut syaikh Al-Albany, arti dari kata tersbeut diatas yang mendekati
kebenaran adalah pendapat yang menafsirkan dengan wajah dan telapak
tangan. Sedangkan yang di sebut dengan telapak tangan adalah bagian
dalam dari telapak tangan hingga pergelangan; adapun wajah adalah mulai
dari tempat tumbuhnya rambut hingga bawah dagu dan mulai dari satu
kuping hingga kuping telinga yang lain. Sehingga yang meliputi wajah dan
telapak tangan adalah celak, cincin, gelang, dan inai.
2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan.
Firman Allah Ta’āla dalam surat al-Nūr:31 “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.” Ayat
ini menunjukkan adanya perintah bagi wanita untuk menyembunyikan
perhiasannya, dan sangat tidak masuk akal jika seorang wanita berpakaian
(dengan maksud menutupi perhiasannya) namun pakaian tersebut justru ia
jadikan sebagai perhiasan. Secara umum, ayat ini juga mengandung makna
semua pakaian biasa (jika dihiasi) yang dengannya menyebabkan kaum
laki-laki melirik dan tertarik kepadanya.
3. Kain yang dipergunakan tebal dan tidak tipis.
Dalil dari syarat ini adalah hadits nabi Muhammad SAW yang artinya: “Pada
akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian tetapi
(hakekatnya) telanjang . Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol
(punuk) onta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum
wanita terkutuk.” Yang dimaksud oleh hadis Nabi saw di atas adalah
wanita yang mengenakan pakaian tipis, yang dapat menggambarkan bentuk
tubuhnya. Makna ini telah banyak dinukil dari para şahabat dan şahabiyah
Nabi saw, seperti Asma’ binti Abū Bakar, Umar bin Khaţţāb, dan lain
sebagainya.
4. Pakaian harus longgar, tidak ketat dan tidak menggambarkan bentuk dari anggota tubuh pemakainya.
Hakekat mengenakan pakaian adalah untuk
menghilangkan fitnah, di mana hal tersebut tidak akan dapat terwujud
kecuali pakaian yang dikenakan haruslah bersifat longgar dan tidak
sempit. Telah kita lihat fenomena yang memprihatinkan di kalangan wanita
muslimah saat ini, meskipun mereka berpakaian dengan pakaian yang dapat
menutupi warna kulitnya, namun tetap saja mereka mengenakan pakaian
yang dapat menggambarkan bentuk tubuhnya. Keadaan inilah yang dapat
mendatangkana kerusakan besar di kalangan umat manusia.
5. Tidak menggunakan wewangian atau parfum
Ada banyak hadits yang menyebutkan
larangan bagi wania muslimah untuk tidak memakai wewangian, salah satu
diantaranya adalah: Dari Abū Mūsa al-Asy’ariy bahwasanya ia berkata: Rasūlullāh saw bersabda: “Siapapun
perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar
mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah penzina”.
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Ada beberapa hadits sahih yang memuat larangan ini, diantaranya adalah: Hadis yang diriwayatkan Abū Hurairah ra:“Rasulullah saw melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.”
Larangan ini sangat kuat dan termasuk dosa besar.
7. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir.
Larangan dalam menyerupai
pakaian orang-orang kafir terdapat dalam hadits berikut ini: Dari
Abdullāh bin Amru bin al-‘Aş yang berkata: “Rasulullah saw melihatku
mengenakan dua buah kain yang diwarnai dengan ‘usfur, maka beliau
bersabda: “Sungguh, ini merupakan pakaian orang-orang kafir, maka jangan
memakainya.”
Syari’at telah menetapkan bahwa kaum muslimin - baik laki-laki maupun perempuan - dilarang menyerupai (bertasyabuh) kaum kafir baik dalam ibadah, perayaan hari raya, maupun dalam hal berpakaian.
8. Berpakaian bukan untuk mencari popularitas.
Sesuai dengan hadis Ibnu Umar ra yang berkata: Rasūlullāh saw bersabda: “Barangsiapa
mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia,
niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat,
kemudian membakarnya dengan api neraka.”
Demikianlah persaratan busana
muslimah yang memenuhi syari’at Islam, dan janganlah mengikuti
perkembangan-perkembangan mode yang semakin lama semakin memalingkan
para muslimah dari berpakaian yang benar dan syar’i.
Semoga Bermanfaat - Busana Muslimah, Mengapa Harus Syar’i?
1. http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/06/syarat-pakaian-muslimah-menurut-al.html
2. http://aisyafra.wordpress.com/2011/05/28/jilbab-bukan-hanya-sekedar-penutup-aurat/
3. http://aisyafra.wordpress.com/2013/04/02/hijab-syari-atau-stylish/
4. http://al-badar.net/pengertian-hukum-syari-tasyri-dan-syariat/
Sponsored By:
Wah sebenarnya gak sulit ya buat merawatnya,cuma butuh perhatian dan ketalenan aja biar jilbab atau mukenanya lebih awet. kalo untuk mencuci jilbab dari PRODUSEN MUKENA KATUN JEPANG caranya juga sama gak sis...
BalasHapus